Hujan di Jendela

banjir-jakarta-tahun-2020
Jakarta. Sumber: Dok. Pribadi

Ke Jakarta aku kan kembali…i..i..i..

Lagu Koes Ploes ini terkenal pada era 1969 lewat judulnya “Kembali ke Jakarta”. Ya memang angkatan jadul saja yang tahu tentang lagu tersebut. Bukan pula membahas lagu, tapi saya ingin berbicara mengenai Kota Jakarta itu sendiri terkait banjir yang sering menghinggapi. 
Dahulu kota Jakarta bernama Sunda Kelapa, kemudian berubah menjadi Jayakarta. Jayakarta merupakan pelabuhan yang sangat terkenal pada era lama, Jayakarta menjadi pusat perdagangan dari berbagai negara seperti India, Arab, Cina, Eropa, serta negara-negara lain. Setelah Jayakarta berubah menjadi Batavia (kabarnya Batavia artinya nenek moyang Belanda). Batavia semakin terkenal pada masa dijajah Belanda dan mendapat julukan “Permata dari Timur”. Sampai akhirnya Jepang menyerang barulah berubah menjadi Jakarta, hal ini terjadi sekitar tahun 1942.
sejarah-banjir-jakarta-tempo-dulu
Banjir Jakarta Zaman Belanda. Sumber: nasional.republika.co.id

Sejarah singkat tersebut menjadi awal terbentuknya kota Jakarta. Menjadi ibukota tentu saja menjadi magnet bagi daerah lainnya sehingga Jakarta sejak saat itu menjadi daya tarik tersendiri untuk di kunjungi–bahkan ditinggali hingga kini. Tahun demi tahun pendatang dari luar Jakarta semakin banyak dan kota Jakartapun bertambah sesak.

Kesesakan kota Jakarta dari tahun ke tahun itu juga menambah masalah baru bagi kota yang sudah berdiri selama 493 ini (Tahun 2020). Pengelolaan sampah hingga penanganan bencana banjir masih menjadi pekerjaan rumah jangka panjang dan terus berulang di tahun-tahun mendatang. Tak ayal lagi kota Jakarta harus segera dibenahi.
Menurut berbagai sumber, banjir Jakarta sudah pernah terjadi tahun 1600-an, meskipun demikian tak pernah ditemukan bukti terhadap pernyataan tersebut. Tahun tersebutlah dibangun kanal dan sodetan di sungai Ciliwung, namun tak membuahkan hasil, Jakarta tetap banjir. Pada tahun 1918 kembali terjadi banjir besar sehingga dibangunlah Kanal Banjir Barat di tahun 1920, kemudian hingga tahun 1930 banjir masih menimpa kota Jakarta. Tak berhenti disitu, tahun 1965 kota Jakarta masih juga mengalami banjir. Pada tahun 1972 dibentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir dan berganti Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya tahun 1972. Saat itu gubernur yang menjabat adalah Ali Sadikin. Ali Sadikin bahkan meminta bantuan asing dalam rangka penanggulangan banjir kota Jakarta. Ali Sadikin membangun waduk dalam kota dan pembuatan saluran Cengkareng dan Cakung. Normalisasi yang dibangun Ali Sadikin tak menghindarkan kota Jakarta dari banjir yang terjadi kembali di tahun 1976.

Era tahun 2000-an banjir kembali terjadi pada tahun 2002 hingga yang terparah pada tahun 2007 silam. Tahun 2007 korban jiwa mencapai 80 (delapan puluh) orang serta warga yang mengungsi sekitar 300.000an ribu jiwa–perekonomian turut anjlok akibat dampak banjir. Ini terjadi pada era Sutiyoso. Tahun 2015 kembali lagi mengingatkan kita pada kejadian banjir terbesar di kota Jakarta. Kemudian lebih meningkat lagi di tahun 2020 pada pergantian awal tahun kota Jakarta dirundung duka mendalam. Banjir besar kembali berulang, kesedihan kembali datang, barang-barang hanyut dan menghilang, hingga sebagian nyawapun terbang. Kota yang dipuja kembali membawa duka. Banjir yang terjadi tahun 2020 menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) merupakan pengaruh dari siklon Tropis Esther dan siklon Tropis Ferdinand, inilah yang menyebabkan hujan dengan intensitas curah yang besar menimpa salah satunya kota Jakarta.

Permukiman di Bantaran Kali. Sumber: nasional.republika.co.id

Sebagaimana kita ketahui, bahwa dahulu kota Jakarta merupakan daerah pelabuhan dan banyak sekali terdapat rawa-rawa, hal ini jugalah yang turut menjadi anggapan bahwa kota Jakarta memang “diselimuti” banyak air. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mencoba menelusuri apa sebenarnya penyebab banjir di kota Jakarta. Hasil dari penelitian LIPI menyatakan bahwa beberapa hal mempengaruhi banjir Jakarta yaitu masalah Tata Ruang Kota Jakarta, penurunan tanah, dan sampah.

Jumlah Penduduk

Penduduk Jakarta saat ini berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS) sebanyak 10.467.269 jiwa, sudah terbayangkah bagaimana padatnya kota ini? Belum berhenti disana, kepadatan penduduk tentu selalu berbanding lurus dengan kebutuhan penduduk itu sendiri pada sandang, pangan, dan papan. Permukiman dibangun dalam rangka memenuhi kebutuhan papan penduduk yang semakin bertambah banyak. Dampaknya ruang semakin sempit, jalur-jalur air jadi terhimpit. Penambahan kebutuhan sandang dan pangan jangan juga dianggap enteng, karena dampaknya sampah pun bertambah. Pada akhirnya kota Jakarta yang menanggung beban lebih berat dari tahun ke tahun dalam rangka memenuhi seluruh elemen kebutuhan penduduknya.

Tata Ruang kota Jakarta

Agaknya terlalu dini apabila menyalahkan tata ruang kota Jakarta sebagai penyebab banjir yang melanda Jakarta. Betapa tidak, carut marut padatnya penduduk kota Jakarta pun harus menjadi perhatian bersama sehingga Tata Ruang Kota yang seharusnya menjadi isu paling utama dalam pembentukan kota menjadi bergeser karena dibangunkan permukiman penduduk. Bayangkan penduduk semakin bertambah otomatis pembangunan permukiman pun meningkat, sehingga kawasan yang seharusnya menjadi daerah resapan air berubah menjadi beton. Air pun tak punya lagi muara kembali. Tentulah banjir tak dapat dihindari. Namun demikian, peneliti LIPI menyatakan harusnya dibangun Ruang Hijau untuk resapan air di daerah selatan Jakarta dan Ruang Biru untuk menampung air di kawasan Jakarta Utara.

Struktur Tanah

Santer terdengar bahwa kota Jakarta struktur tanahnya sudah mulai turun. Hal ini diakibatkan oleh pendangkalan sungai di tengah Jakarta. Penyedotan air tanah di wilayah tengah mengakibatkan daerah selatan dan utara permukaan tanahnya menjadi lebih tinggi. Bisa dibayangkan bahwa tengah kota Jakarta menjadi cekung akibat penyedotan tersebut sehingga permukaan tanah menurun. 

Sampah

Ada yang tahu berapa jumlah sampah yang dihasilkan kota Jakarta dalam sehari? Sekitar 7.500 ton sampah perhari dihasilkan oleh warga kota Jakarta. Belum lagi penambahan penduduk terus melaju dari tahun ke tahun–otomatis menambah jumlah sampah yang dihasilkan. Ini menjadi renungan bersama bukan hanya pemerintah, tapi semua elemen masyarakat harus mulai membenahi kesalahan mendasar yang sudah diakibatkan dari pola kependudukan dan pola kehidupan warga masyarakat kota Jakarta. Sehingga bencana banjir–meski tidak dapat dikatakan hilang–dapat berkurang.
Pada tahun 2019 silam, Jokowi mencanangkan pencegahan masuknya sampah ke laut dalam Peraturan tentang Penanganan Sampah Laut. Salah satu programnya–dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Republik Indonesia bekerja sama dengan The Ocean Cleanup, Danone-AQUA, dan Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta–mendatangkan Interceptor 001. Ini merupakan alat pengangkut sampah dari sungai, kerjanya otomatis dengan menggunakan tenaga surya dan tidak memiliki suara gaduh–tidak berisik. Ada bagian yang disebut conveyor belt sebagai pengangkat sampah-sampah untuk kemudian diletakkan ke dalam kontainer. Saat kontainer penuh pesan akan diteruskan melalui aplikasi sehingga petugas akan memindahkan sampah tersebut. Interceptor 001 ini digadang-gadang mampu mengangkut hingga 100.000 kilogram sampah perhari. Apakah ini menjadi solusi kota Jakarta terbebas dari banjir? Tentu waktu yang akan menjawabnya.