Cerpen ini adalah cerpen pertama saya dan alhamdulillah pada tahun yang sama yaitu bulan Desember tahun 2007 masuk Majalah Remaja Kawanku, seneng banget, karena cerpen ini hasil dari imajinasi dan pengalaman nyata, ditambah dulu belum banyak sinetron atau FTV dengan tema percintaan seperti ini. Kini, saat buka file lama ini, saya senyum-senyum dan bahkan tertawa sendiri, speechles. So, selamat membaca…semoga bisa tersenyum ketika membacanya…salam…
“Randooo…!!!” teriakku kesal karena kulihat kaos olahragaku tidak ada di laci meja. Padahal aku harus bergegas mengganti pakaian untuk pelajaran olahraga. Gigiku gemeretak karena geram seolah ingin melumatnya habis tanpa sisa. Semakin hari dia semakin membuatku jengkel dengan tingkahnya yang seperti Don Juan tersasar!
“Kenapa lo Ra, teriak-teriak gak jelas gitu?!” tanya Tita, sahabatku sejak SMP. Kini di SMA-pun kami tetap bersama.
“Kaos olahraga gue gak ada Ta, celananya aja yang ada di laci, gimana gue gak kesel coba, pasti ini kerjaan si Bando sialan itu!” makiku.
“Ya udah, mending kita cari dia aja, daripada di sini teriak-teriak gitu, gak guna!” ajaknya.
Aku dikenal jail di sekolah, apalagi terhadap laki-laki. Tiap ada laki-laki yang berusaha PDKT denganku, dia tidak akan luput dari rencana-rencana aneh di kepala. Rasanya ada keasyikan tersendiri bagiku melakukannya. Sampai aku bertemu dengan Rando Hanafi, laki-laki yang disebut-sebut tampan, akupun ingin mengerjai-nya. Apalagi kami berada di kelas yang sama, sejak itu pula kami sering bertengkar.
Aku dan Tita bergegas keluar mencari manusia yang bernama Rando dengan menahan amarah, tiba-tiba…
“Raraaa…!” teriakan Voni membuatku terkejut. Aku dan Tita berpandangan lalu berjalan ke arah pintu, mencari tahu apa yang terjadi.
“Kenapa Von, lo manggil Rara kaya pake TOA gitu?” tanya Tita sebelum aku sempat membuka mulutku.
“Kaos lo Ra, hf..hf..hf…!” ucap Voni terengah-engah.
“Kaos gue, kaos gue kenapa Von, di mana?” tanyaku cepat.
Sebelum sempat menjawab, Voni menarik lengan dan membawaku pergi. Tita mengikuti dengan kening berkerut, sama penasarannya denganku. Voni membawaku ke lapangan. Aku bingung, sebenarnya apa yang ingin ditunjukkan Voni.
Dari kejauhan, belum ada tanda-tanda Pak Kasiman akan memulai pelajaran olahraga. Teman-teman kulihat berkumpul dan tertawa-tawa di bawah ring basket. Yang paling mengejutkan, kulihat ada sesuatu menggantung di ring itu, dan aku seperti mengenalinya. Aku memicingkan mata dan mengernyitkan dahi serta memperhatikan lebih seksama.
“Ohhh…my God!” ucapku ternganga melihat apa yang ada di sana. Tak terasa darahku sudah naik ke ubun-ubun.
“I..i..itu kan kaos lo Ra!” Tita tergagap melihat kaos yang menggantung dan sesekali berayun tertiup angin yang berhembus pelan.
“Priiittt…!!!” peluit berbunyi, tanda bahwa aku dan teman-teman harus berbaris sebelum memulai olahraga. Mataku berusaha mencari sosok yang membuatku kesal di antara keramaian teman-teman yang mulai membentuk barisan di bawah ring basket. Pak Kasiman berjalan ke arahku dengan tatapan penuh tanda tanya karena aku berada di luar barisan dan masih mengenakan seragam sekolah.
“Rara, kenapa kamu tidak ganti pakaian?” tanya Pak Kasiman bingung.
“Kaos saya digantung di atas ring Pak” jawabku sambil menunjuk ke atas ring.
“Kenapa bisa ada di sana?” tanyanya lagi.
“Rando Pak yang gantung kaos saya!” jawabku tanpa pikir panjang. Karena aku yakin dialah trouble maker dalam masalah ini.
“Mana Rando?” panggil Pak Kasiman.
Tiba-tiba manusia menyebalkan itu muncul di antara teman-teman yang sudah membentuk barisan. Aku menatapnya sinis seperti hendak menerkamnya habis. Dia tersenyum tipis seakan puas membalasku karena kemarin, saat jam istirahat, aku menaruh kodok di dalam tasnya. Dia terlonjak kaget karena kodok itu melompat saat tas dibuka. Aku terbahak-bahak melihatnya dari balik jendela kelas bersama Tita.
“Apa benar kamu yang menaruh kaos Rara di atas ring Rando?” tanya Pak Kasiman.
“Nggak Pak, bukan saya, saya juga kaget Pak, tiba-tiba ada kaos berkibar-kibar di atas ring” jawab Rando sekenanya, mengejekku.
“Bohong Pak, dia yang gantung kaos saya Pak!” makiku karena tidak tahan.
Beberapa saat aku dan Rando saling memaki dan berteriak karena dia tetap tidak mengaku. Pak Kasiman tidak tahan mendengar pertengkaran aku dan Rando sampai akhirnya menghukum kami berlari 10 kali putaran. Aku semakin geram dan ingin menamparnya karena masih saja tidak mengaku.
Setelah menghukum aku dan manusia planet itu, Pak Kasiman menyuruh kami mengikuti pelajarannya seperti biasa—sebelumnya Mang Usep mengambil kaosku agar bisa kupakai.
“Awas lo…!!!” ucapku pelan sambil mengacungkan tinju ke arahnya.
Bel istirahat berbunyi, pelajaran tersebutpun berakhir. Aku dan Tita kembali ke kelas, mengambil seragam dan menggantinya di toilet.
“Gue bingung deh gimana Rando bisa gantung kaos lo di ring basket ya Ra?!” tanya Tita ketika berjalan ke arah toilet.
“Yaelah Ta, ya pake kayu panjang ato apalah yang bisa dipake, ato jangan-jangan dia lutung gunung kali, bisa manjat-manjat!” jawabku sekenanya karena kesal.
“Hahaha…jahat lo Ra, cakep cakep gitu dibilang lutung gunung” balas Tita.
Aku masih kesal dan marah atas kejadian tadi. Untung saja ada Mang Usep yang mau membantu mengambilkan kaosku yang menggantung di ring.
***
“Ta, jadi ke rumah gue kan, ngerjain proposal PENSI buat rapat OSIS senen depan?!” tanyaku pada Tita saat pelajaran berakhir.
“Jadi donk, gue juga dah bawa DVD terbaru Harry Potter nih, buat nonton di rumah lo, heee” jawab Tita sambil memperlihatkan DVD Harry Potter di tangannya.
“Sip, yuk cabut!” ajakku.
Hari terlihat cukup cerah, langit di atas sana membiru dengan sedikit gumpalan-gumpalan awan yang membuat bumi tidak begitu terik. Pohon-pohon besar yang ada di sekolah juga melambaikan daun-daunnya karena ditiup angin semilir yang terasa lembut menyentuh pipiku.
Aku dan Tita terus berjalan di antara hiruk pikuk teman-teman. Mereka berkumpul, tertawa, dan melepas kepenatan setelah berada di dalam kelas dengan pelajaran-pelajaran yang melelahkan, ditambah lagi bila ada guru killer mengajar, hakhh itu menambah kepusingan.
***
“Ra, lo berdua gak cape apa dari dulu ribut terus gitu, dari awal sekelas sama dia?” tanya Tita ketika sampai di rumahku dan kami berada di kamar.
“Cape?! Bukan Rara namanya kalo cape, baru cowo kaya gitu, hukhh kecil!” jawabku dengan penuh keyakinan sambil menjentikkan jari kelingking penuh semangat pembalasan.
“Haduh Ra, lo gak takut apa, ntar lo suka lho sama dia!” tiba-tiba saja Tita berkomentar yang kuanggap aneh.
“Gak mungkinlah Ta, masa gue suka sama alien pake Bando, hahaha…!” aku terkikik keras karena geli membayangkan Rando memakai Bandana dengan kepala besar, berbadan kurus ditambah mata lonjong dan besar seperti alien di film-film.
“Tapi Ra, kalo Rando yang ternyata beneran suka sama lo gimana, kayanya dia sebenernya baik deh Ra, trus Sesil juga pernah ngomong sama gue kalo dia sebenarnya bukan playboy, cewe-cewe aja yang pada ngejar-ngejar dia?!” ucap Tita panjang lebar.
“Selama dia masih nantangin gue, gue bakal tetep ngerjain dia, ibarat kata ni Ta, dia jual, gue beli, hekkh! masalah dia suka, EGP deh, emang gue pikirin! ” ucapku sambil berlagak sombong.
“Dasar gokil ni anak, gak pernah serius kalo diajak ngomong!” ucap Tita kesal dan keluar dari kamarku. Tak berapa lama, Tita kembali membawa segelas air putih dingin dan chocochips di tangannya. Tita memang sudah dianggap seperti keluarga sendiri di rumahku.
Aku berdiri dan berjalan ke arah jendela kamar. Di luar kulihat kupu-kupu hinggap di bunga taman yang berada di halaman. Warnanya putih dengan sedikit warna hitam, mengepakkan sayapnya tiada henti. Menari-nari sambil menghisap sari bunga. Aku tertegun beberapa saat. Tiba-tiba sosok Rando muncul dan membuyarkan lamunanku. Aku terkejut, bagaimana dia bisa muncul dan masuk ke dalam pikiranku saat ini. Aku belum lupa bagaimana dia membuatku kesal hari ini, dan aku harus membalasnya besok. Harus!
***
Pagi ini aku berangkat lebih awal karena papa ada rapat di kantor, begitu juga adikku Risa, katanya ada rapat kelompok sebelum masuk sekolah. Aku berlari menuju kelas berharap Tita dan Bimo sudah datang, karena aku ingin meminta bantuan mereka menjalankan rencana pembalasan untuk Rando. Ternyata kelas sudah cukup ramai, setelah kuatur rencanaku, aku duduk di bangku seperti biasa—kali ini menunggu Sang Don Juan untuk memberi pembalasan.
Bimo memberi kode dari arah pintu kelas, aku bersiap menanti Rando memasuki kelas, dan…
“Braaakkk….!!!” Rando terpeleset ketika memasuki pintu kelas karena aku menaruh kulit pisang di lantai. Kupikir rencanaku tidak akan berhasil karena cara yang kupakai bisa dibilang sudah basi, tapi kata Bimo, dia tidak pernah melihat ke bawah bila berjalan, maka kurencanakan tentang kulit pisang ini. Aku tidak tahan ingin tertawa terbahak-bahak, aku tetap berpura-pura tidak melihat.
Aku terdiam, tiba-tiba dia bangun dan berjalan ke arahku, aku terkesiap, apa yang akan dilakukannya karena kulihat matanya nanar memandangku. Kulirik Tita yang berdiri di sampingku, kami berpandangan. Aku menggeser kursiku agar lebih leluasa bergerak dan berdiri. Belum sempat kulangkahkan kaki, Rando terus mendekat ke arahku dan membuatku terpojok ke dinding kelas.
Tangan kanannya memegang dinding tepat di samping kepalaku, jantungku tak henti-hentinya berdegup kencang. Ada apa ini, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Tiba-tiba aku seperti menciut, kami begitu dekat sampai-sampai aku pikir dia mendengar detak jantungku yang berdebar sangat kencang karena keanehannya.
“Hehh…kenapa lo, minggir gak?!” ucapku tergagap, bingung, rasanya jantungku berhenti berdetak. Dia terus saja menatapku dengan tatapan aneh.
Dengan tatapan yang masih tak kumengerti dia meraih tanganku dan mencengkeramnya dengan kuat. Aku kaget bukan kepalang. Kuhentakkan tanganku tapi sia-sia, karena dia lebih kuat memegangnya. Aku berusaha melepaskan tanganku lagi, tapi dia tetap menahannya.
“Rando lo apa-apan sih, lepasin tangan gue!” makiku karena kurasakan mukaku merah padam karena malu sekaligus marah atas apa yang dilakukannya.
“Gue suka sama lo, gue bener-bener suka sama lo, lo udah bikin gue gak tenang dengan yang lo lakuin selama ini, karena itu gue jadi suka mikirin lo!” aku seperti kehilangan rohku beberapa detik, ternganga, tak percaya atas apa yang baru saja kudengar langsung dari bibirnya. Jantungku semakin berdetak tak karuan, otakku berputar-putar seperti ada kekacauan sistem jaringan di dalamnya.
Aku mencoba menarik nafas panjang, berusaha mengembalikan rohku, berusaha memperbaiki sistem otakku yang sesaat kacau balau. Aku berusaha kembali memijak bumi karena tadi seolah aku tidak menginjakkan kakiku di lantai. Aku tak tahu apa yang akan aku ucapkan. Bibirku seolah kaku. Ada getar-getar aneh di hatiku. Selama ini, belum ada yang menembak-ku dengan cara seperti yang dilakukannya. Aku menatapnya kelu bagai batu. Dia masih menatap mataku seakan ingin menerobos masuk ke dalamnya, mencari hatiku, dan mencari tahu jawaban pertanyaannya. Aku hanya diam, terpaku, dan membiarkan dia mengetahui sendiri jawaban itu melalui tatapanku.