Hujan di Jendela

Malam, sampaikan padanya gelisah tlah merajamku,
Katakan padanya rasa bersalah selalu menghantui hari-hariku
Tanyakan padanya kemana arah ‘tuk ku kembali
Duhai cinta, jangan menghukumku begini berat

*** 

Sudah sebulan sejak aku memutuskan untuk berpisah. Tapi, mengapa baru kini kurasakan sepi yang begitu mengusik. Hari-hariku terasa kosong. Ingatan akan dirinya selalu datang dalam keheningan. Entah, apa dia juga merasakan seperti yang kurasa kini. Rasanya sesak, bagai dihimpit beban berat di dadaku. Ingin kukatakan padanya tentang sesalku, tapi apa mungkin dia mau mendengarnya. Lirih hatiku memanggilnya dan berkata maaf. Tuhan, apa yang sudah kulakukan? Mengapa rasa ini makin hari makin menyiksaku.

Sejak ku ucap kata ‘putus’ dihadapannya waktu itu, dia tertunduk dan berlalu tanpa kata-kata, meninggalkanku berdiri seorang diri. Mengapa dia tidak bertanya alasanku memutuskannya? Mengapa hanya membisu dan berlalu setelah aku memutuskan berpisah darinya? Mengapa…

“Velisa, udara di luar makin dingin lho, masuk yuk sayang” tiba-tiba mama muncul dari dalam saat aku duduk di beranda rumah.

“Iya mah, sebentar lagi” kataku.

“Anak mama yang cantik ini kenapa sih, ko melamun terus, dari tadi mama perhatikan dari dalam, ayo cerita ke mama, ada apa?” tanya mama menghampiri.

“Velisa ingat Dito ma” ucapku lirih pada mama yang mengetahui hubunganku dengan Dito telah berakhir. 

“Sayang, kalau memang keputusan itu membuatmu merasa bersalah, katakan sejujurnya apa yang sudah kamu lakukan, bicara baik-baik dan minta maaf, supaya kamu gak selalu dikejar perasaan bersalah begini sayang” mama berkata sambil membelai rambutku dengan lembut. Ah…mama andai saja aku bisa melakukannya.

“Andai aja Velisa mampu berbicara dengannya, ma. Andai Velisa punya sejuta keberanian menatap matanya. Sorot mata yang mengisi hati Velisa sampai ke bagian terdalam. Sorot mata yang ternyata Velisa lukai…” bisikku dalam hati tanpa mama tahu.

Derai-derai airmata berjatuhan tak tertahan dari mataku. Aku membenamkan kepalaku dalam pelukan mama. Mendekapnya erat seolah aku tak ingin mama pergi sedetikpun. Mama memelukku dengan lembut. Dikecupnya kepalaku perlahan.

Andai aku bisa mengulang segalanya. Tak kan kulakukan semua yang ternyata juga menyakitiku, membuatku dihantui rasa bersalah. Aku tak tahu semuanya akan seperti ini. Apa dia mau memaafkanku, apa dia masih bisa mencintaiku kalau kukatakan semuanya? Kalau aku ingin kembali, apa dia mau menerimaku, masih adakah ruang di hatinya untuk ku kembali?

Dito selalu menyayangiku dengan tulus, tanpa kepura-puraan. Namun, sejak awal aku sudah melakukan kesalahan fatal. Karena tidak ingin kebohongan itu terus berlanjut kuputuskan berpisah darinya. Meski aku ternyata benar-benar jatuh cinta. Tadinya kupikir dia tak kan terluka, tapi dengan tatapannya waktu itu, dia kecewa padaku, sangat kecewa. Sehingga tak ada sepatah katapun terucap darinya. Dito pergi membawa sesal yang tlah kuucap kala itu.

*** 

Pagi hari aku masih terbaring di tempat tidur. Tubuh terasa panas dan lemas, aku tak kuat beranjak bangun. Mama masuk ke kamar seperti biasa. Melihatku pucat mama mendekat dan menaruh tangannya di keningku.

“Badanmu panas sayang, kamu gak apa-apa, kita ke dokter ya!?” mama mengusap kepalaku.

“Enggak apa-apa kok ma, Velisa cuma kecapean barangkali karena kemarin gak tidur ngerjain tugas” tolakku dengan suara lemah.

“Iya, tapi nanti kan dokter bisa kasih obat sayang” desak mama.

“Beneran ma, Velisa cuma kecapean, istirahat bentar juga sembuh kok” rajukku agar tidak dibawa ke dokter.

“Dasar bandel! tapi janji kalau nanti panasmu gak turun-turun kita ke dokter, janji?!” mama berkata sambil mengacungkan kelingkingnya pertanda mengajak sepakat. Mama tersenyum. Aku mengangguk pelan. 

“Mama buatkan sarapan ya, biar perut kamu gak kosong?” tawar mama dan bergegas keluar.

Why do you love me

So sweet and tenderly 

I’ll do everything to make you happy

Hu…uu..uuu…

Alunan merdu suara Rio Febrian mengalun pelan setelah aku menekan remote control yang kutaruh di atas meja, dekat tempat tidur, menyalakan musik dengan posisi tetap terbaring. Anganku melayang. Betapa ingin kukatakan bahwa aku mencintainya. Betapa ingin kukatakan bahwa aku menyesal atas apa yang kulakukan. Maafkan aku Dit… 

Tak berapa lama, mama muncul dari balik pintu sambil membawa makanan. Selesai sarapan ditemani mama, aku kembali terlelap, mama menyuruhku istirahat agar kondisiku cepat pulih kembali.

*** 

“Dito, jangan pergi! Kumohon dengarkan penjelasanku. Jangan tinggalkan aku, aku akan menjelaskan semuanya. Aku ingin minta maaf. Aku juga ingin katakan bahwa aku sebenarnya mencintaimu. Dito jangan pergi…!!!”

“Jangaaan…!!!” aku tersentak bangun. Hf…ternyata hanya mimpi. Kuseka keringat yang mengucur di kening. Jantungku masih berdegup kencang karena mimpi yang baru kualami. Aku menghela nafas panjang.

“Vel, ada Dito di luar, katanya mau jenguk kamu tuh” kata mama, saat masuk kembali sambil meraba keningku yang sudah tidak begitu panas.

“Dito…?!” belum sempat mama bicara, aku beranjak dari kamar dengan langkah yang mulai stabil. Kulangkahkan kaki ke ruang tamu. Mama kembali ke dalam.

Sesaat kurasakan gemuruh di hatiku. Jantungku berdebar tak karuan, senang, takut, bingung semua campur aduk. Tak dapat kupungkiri betapa aku gembira Dito datang menemuiku. Aku begitu rindu padanya. Rindu pada segala tentangnya yang tlah membuatku terpesona. Aku seperti sembuh dengan sendirinya melihat orang yang kini berdiri membelakangiku. Lalu, dia berbalik.

“Hai Vel…kata Saskia kamu sakit, mm..karena aku biasa lewat daerah sini jadi aku mampir, lagipula ada yang ingin ku katakan” ucapnya sambil terus menatapku. Ya Tuhan, tatapan itu yang membuatku seperti ini. Tatapan itu yang membuatku dihantui perasaan bersalah karena tlah menyakitinya.

Mengapa aku begitu bodoh sampai harus melakukan kesalahan padanya. Mengapa aku tidak bisa melihat betapa cintanya teramat tulus menyanjungku. Inginku berlari ke dalam pelukannya dan tak kan kulepas lagi. Tapi sekarang semuanya sudah terlambat. Mungkin dia datang untuk mengucapkan selamat tinggal untuk selama-lamanya. Pertanyaan-pertanyaan bermunculan dalam kepalaku. Aku masih tak percaya, di hadapanku berdiri seseorang yang begitu kucintai namun tlah kusakiti. Aku hanya diam, rasanya kelu dan sulit berkata-kata.

“Kamu gak perlu bicara apa-apa Vel, tolong kali ini dengerin aku aja!” Dito menghela nafas dalam-dalam.

“Aku sudah tahu semuanya, aku tahu kemarin kamu hanya main-main jadi pacarku. Kamu cuma ngetes aku. Saskia, sahabatmu, sudah cerita semuanya, dia ingin aku memaafkanmu” Dito melontarkan kata-kata tanpa membuatku berkedip sedetikpun.

Langit seakan menghimpitku ke dalam bumi mendengar kata-kata yang baru saja terucap. Nafasku tersengal. Tapi, sudah kuputuskan siap menerima apapun yang akan keluar dari bibirnya, meski itu membuatku terluka.

“Aku juga tahu kamu menyesal dan merasa bersalah atas apa yang kamu lakukan” ucapnya lagi.

“Kamu tahu aku mencintaimu Vel, menyayangimu dengan tulus sejak dulu, sejak pertama aku mengenalmu. Sampai aku tak bisa membencimu meski kutahu kamu mempermainkan aku. Karena cintaku begitu besar. Aku tidak bisa membencimu. Aku tidak bisa menghilangkanmu dari ingatanku” ucapnya lirih menggetarkan hatiku.

Ya Tuhan, aku memang bodoh, benar-benar bodoh. Harusnya aku tidak melakukan semua itu. Seharusnya aku tidak pura-pura menyukainya ketika teman-teman memancingku supaya jadian dengan Dito, karena mereka bilang Dito belum pernah pacaran. Aku tak tahu harus bagaimana. Kucoba membuka mulutku yang terasa kaku.

“Ma…maafin aku Dit, aku menyesal atas apa yang kulakukan padamu selama ini, maafin aku, aku benar-benar menyesal” aku berkata lirih sambil menitikkan airmata yang sejak tadi kutahan. Airmata tulus dari hatiku karena aku ingin memulai semua dari awal. Merajut kisah yang lebih indah bersamanya. Tanpa dusta atau kebohongan. Namun, mungkinkah Dito menerimaku kembali? Dito menatapku tak berkedip. 

“Aku sudah memaafkanmu sejak awal Vel” Dito menjawab dengan singkat. Dito menunduk. Aku memandanginya. Kami masih berdiri sejak tadi. Saling berhadapan.

“A..aku ingin jadi pacarmu yang sesungguhnya Dit. Aku ingin menebus kesalahanku dengan menjadi kekasihmu yang setia, apa aku masih punya kesempatan?” tiba-tiba saja kata-kata itu meluncur dari mulutku tanpa kusadari. 

“Apa kamu masih ingin main-main dengan perasaanku?” Dito mengangkat kepala dan balik menatapku tajam.

“Enggak, aku gak main-main, aku serius Dit, swear…” kataku pelan.

Dito menghampiriku. Menatap mataku lekat-lekat seolah mencari kesungguhan didalamnya. Jantung ini bagai dipacu lebih cepat. Apa Dito mau menerimaku kembali? Lama kami terdiam, baru akhirnya Dito mengeluarkan suara.

“Kamu tlah membuatku kecewa, tapi aku tetap menyayangimu, hh…aku gak bisa menolakmu Vel…” ucapnya tersenyum. 

Dito mendekat, meraih tanganku serta mengecupnya lembut. Aku tersipu. Serasa terbang ke angkasa. Dito menerimaku kembali. Segalanya bagai dipenuhi cinta. Aku begitu bahagia. Dito menghapus airmataku yang sejak tadi berderaian, dengan tangannya. Kemudian, Dito memelukku dengan lembut. Terima kasih Tuhan, desahku dalam hati.

 

(Jakarta 2007)