Budaya Saling Memaafkan Jelang Ramadan
Pagi itu seperti biasa, suasana stasiun kereta sudah sedemikian padatnya. Penumpang berlarian mengejar kereta yang hendak berangkat. Namun, ada juga yang berjalan santai seolah tak mengapa bila tertinggal dan ikut kereta berikutnya. Petugas dengan rompi orange terlihat bersiap-siap menarik rantai panjang dari sisi kanan ke kiri guna menutup jalan yang akan dilalui kereta.
Aku pun bergegas masuk, mencari tempat duduk, tengok kanan kiri, akhirnya aku memutuskan duduk diantara mbak-mbak kantor terlihat dari caranya berpakaian. Mbak yang duduk di kananku mengenakan rok rampel warna khaki, blouse kuning muda dengan lanyard hijau army, masker di mulut dan hidung tak mampu menutupi kecantikan wajahnya, itu ku tebak dari matanya yang indah. Mbak yang di kiriku tak jauh berbeda, mungkin ini yang disebut anak Jaksel atau bekerja disekitaran Jaksel. Celana denim nuansa biru tua, kemeja longgar dengan lengan baju dilipat beberapa tingkat serta lanyard merk ternama memukau mata.
Masinis terdengar samar-samar di depan sana mengantarkan kepergian para pejuang kereta pagi itu. Memberi semangat para pencari nafkah keluarga atau diri sendiri bagi para jomlo. Suasana kereta seketika penuh, banyak yang berdiri di lorong dan dekat pintu. Terdengar roda kereta beradu dengan jalan–khas suara kereta. Sesekali iklan pada layar-layar di dalam kereta pun menyala. Penumpang duduk sebagian besar mulai tidur, yang lainnya asyik masyuk dengan gadget.
Kulihat kalender di handphone-ku, menunjukkan tanggal 21 Maret 2023. Infonya, kalau benar sidang isbath pemerintah esok hari dilaksanakan, ramadan pertama akan jatuh pada hari Kamis 23 Agustus 2023–lusa. Dengan izin Allah, aku masih diizinkan bertemu dengan ramadan 1444 H di tahun Masehi ini. Siapkah aku?
Banyak Maaf di Stasiun Kereta
Pejuang kereta commuter line masa kini memang tak sama dengan pejuang kereta pada tahun-tahun sebelumnya. Tengok saja sekitaran tahun 2000-an, masih kita temui para pedagang, pengamen hingga pengemis tumplek di dalam kereta commuter line Jakarta. Kalau soal bau-bauan jangan ditanya, bisa dibayangkan seperti apa kondisinya. Kini permasalahannya tak beda jauh. Manusia semakin banyak, transportasi darat kurang memadai atau entah memang penduduk Jakarta kian bertambah. Kereta tetap penuh dengan para pekerja Ibukota dan sekitarnya.
Sedikit saja lengah, copet masih tetap ada, menyasar orang-orang lengah. Lambat berjalan bisa kena tabrak atau terinjak. Untuk keluar masuk kereta penuh sesak, orang tak ragu untuk saling dorong. Banyak ujian kesabaran bila hendak memutuskan naik kereta di Jakarta.
Untuk menuju kantor tempat bekerja, aku harus transit 2 (dua) kali. Aku harus transit di stasiun Duri dan stasiun Tanah Abang, barulah menuju stasiun Palmerah, lokasi kantorku berada. Aku tak melewati stasiun Manggarai yang kini viral. Sejak pemerintah mengubah jalur kereta beberapa waktu lalu, stasiun Manggarai kini menjadi tempat transit terbesar dan terpadat seantero stasiun lainnya di Jakarta. Bisa dibayangkan seperti apa orang berlarian, seperti suasana film resident evil–komen netizen di media sosial tentang stasiun Manggarai.
Pernah suatu hari, aku bersiap hendak turun dari kereta menuju lokasi transit pertama yaitu stasiun Duri. Biasanya sebelum turun, kita diminta masinis bersiap di dekat pintu karena pintu hanya terbuka sebentar bila penumpang penuh apalagi di jam ramai. Bergegaslah aku menuju pintu, mencari pegangan atau handle di atas kepala sebab besi di kanan kiri sudah ada perempuan berdiri dengan sigap hendak keluar juga.
Saat pintu dibuka, dengan pasti kulangkahkan kaki, tiba-tiba ada seorang perempuan yang mendorong tubuhku hingga aku hampir terjungkal ke depan. Buru-buru kuseimbangkan kakiku, syukurlah tidak jatuh. Ku tengok perempuan itu ke belakang tampaknya dia tahu kalau sudah melakukan kesalahan, ia hanya diam. Rasa kesal tentu tak dapat ku sembunyikan. Bisa saja aku terjatuh kalau tidak sigap menyeimbangkan tubuh. Perempuan itu berlalu begitu saja. Sorot mataku tampak kesal, kemudian aku kembali berjalan, ku hela napas panjang–ah, ini ujian.
3 (Tiga) Nilai Dalam Bersosialisasi: Maaf, Terima Kasih, Tolong
Begitulah sebagian kecil potret masa kini suasana kereta commuter line di Ibukota Jakarta. Para pencari kerja resah karena berbagai alasan. Mereka terburu-buru harus sampai tujuan tepat waktu. Terlambat bisa jadi potong gaji atau dimarahi. Berkata maaf setelah membuat orang lain dalam keadaan susah rasanya kini tak mudah.
Mungkin sebagian orang menganggap menginjak atau tak sengaja mendorong orang lain di kereta hal sepele tak perlu dibesar-besarkan. Hal yang wajar bila kondisi ramai dan penuh sesak. Tak perlu menuntut permintaan maaf. Benarkah sudah sedemikian menipisnya rasa simpati atau adab di kereta hingga hal seperti itu dilegalkan dan menjadi biasa saja?
Kemana 3 (tiga) kata penting yang diajarkan di sekolah, di surau-surau tempat mengaji, atau pesan orangtua dahulu. Teori tentang berkata maaf bila melakukan salah, berucap terima kasih, atau berkata minta tolong bila membutuhkan pertolongan orang lain. Ketiga adab kesopanan tersebut harusnya melekat di hati kita. Menjadi kebiasaan dan refleks dalam kehidupan sehari-hari.
Gunanya apa? Tentu banyak manfaatnya apabila ketiga kata penting itu selalu kita lakukan. Kerukunan dan kedamaian dalam bersosialisasi dengan manusia lainnya terasa ringan sebab tak ada yang akan menyimpan kesal apabila ada yang melakukan kesalahan. Itulah ciri bangsa Indonesia dengan budayanya yang terjaga. Budaya saling menghormati dan menghargai orang lain dalam kehidupan bersosialisasi.
Bahkan, di berita-berita televisi perkara tak meminta maaf saja, kadang nyawa jadi taruhannya. Banyak orang menjadi sensitif hanya perkara tidak mudah berkata “maaf”. Padahal berucap maaf tak berat kalau itu sudah menjadi kebiasaan bila melakukan kesalahan.
Budaya Minta Maaf Sebelum Ramadan
Sore itu aku pulang lebih cepat, khawatir stasiun Tanah Abang akan dipenuhi para ibu pulang berbelanja di Pusat Grosir Tanah Abang. Benar saja, setibanya di stasiun Tanah Abang ku lihat banyak ibu menenteng belanjaan. Biasanya memang sebelum ramadan atau puasa tiba ada saja yang sudah berbelanja keperluan lebaran di sana dengan alasan tidak ingin mengganggu ibadah puasa.
Puasa tahun ini pasti akan berbeda dengan tahun sebelumnya. Masih kuingat puasa pada saat pandemi semua sepi. Kegembiraan ramadan tidak begitu terasa. Aku pun hanya bermaafan sebelum ramadan lewat whatsapp saja. Sanak famili ku telepon untuk meminta maaf menyambut ramadan.
Entah sejak kapan, tradisi saling memaafkan tidak hanya dilakukan pada saat lebaran. Sebelum ramadan biasanya memang di sebagian besar Indonesia, umat Islam pasti melakukan ritual saling bermaafan sebelum menunaikan ibadah puasa di bulan ramadan. Ternyata setelah aku membaca beberapa literatur ada kisahnya tradisi saling bermaafan sebelum ramadan dalam Islam.
Dikisahkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ahmad:
Dahulu Rasulullah berkhutbah saat shalat Jum’at pada bulan Sya’ban, beliau mengatakan aamiin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasulullah mengatakan aamiin, terkejut, spontan mengikuti mengatakan aamiin. Para sahabat bingung. Saat selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasulullah, kemudian beliau menjawab: “Ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasulullah aamiin-kan doaku ini”, jawab Rasulullah.
Doa Malaikat Jibril adalah: “Ya Allah, tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadan dia tidak melakukan hal-hal berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.
Kisah Permintaan Maaf Pada Zaman Rasulullah SAW
Manusia pada dasarnya memang makhluk sosial untuk itu manusia membutuhkan makhluk lainnya untuk bertahan hidup. Manusia tak dapat hidup sendiri. Saat manusia bersosialisasi seperti di kereta tentulah ada manusia lainnya yang harus ditenggang perasaannya. Saling menghargai dan menghormati sesama penghuni kereta menjadi adab dan ciri khas bangsa Indonesia.
Salah satu kisah permintaan maaf pada zaman Rasulullah terjadi pada kisah Bilal dengan Abu Dzar. Waktu itu dalam majelis yang dihadiri Khalid bin Walid, Ibnu ‘Auf, Abu Dzar, dan Bilal sedang berdiskusi dan mengemukakan pendapat. Ditengah-tenngah diskusi Abu Dzar menyinggung Bilal dengan menyebut Bilal berkulit hitam.
Bilal mengadukannya ke Rasulullah, sontak Rasulullah marah dan mengingatkan Abu Dzar untuk meminta maaf kepada Bilal. Abu Dzar menangis keluar masjid dan berjalan menuju Bilal. Akhirnya Abu Dzar meminta maaf dan menyadari kesalahannya telah mengucapkan hal demikian kepada Bilal. Bilal pun memaafkan Abu Dzar.
Meminta maaf merupakan tradisi yang mulia, berkata maaf tidaklah akan merendahkan kita. Meski sebagian orang merasa rendah atau kalah apabila meminta maaf. Sebagaimana dikutip dalam kisah yang sama:
Tak ada kebaikan pada diri kita jika kita meninggal dalam keadaan belum saling memaafkan
Menurutku setiap agama tentu sama dalam mengajarkan makna kata maaf dan meminta maaf. Setiap agama pasti mengajarkan nilai-nilai yang ada dalam kata maaf. Dengan meminta maaf ketika bersalah, orang yang kita lukai akan tenang dan melupakan perbuatan yang sudah kita lakukan. Kita pun tidak dihantui perasaan bersalah apabila sudah meminta maaf atas kesalahan yang dilakukan.
Berilah Maaf dan Mintalah Maaf Agar Hati Kita Tenang dan Damai
Perjalanan pulang hari itu terasa syahdu. Suasana senja di langit dengan semburat jingga begitu menenangkan hati. Dijalan kuingat-ingat lagi, siapa yang belum ku hubungi untuk meminta maaf agar ku sambut ramadan dengan lengkap. Memang saling bermaafan tidak harus pada saat-saat tertentu seperti ramadan atau hari raya. Tapi bila ada momen bahagia seperti ramadan, tentu saja menjadi waktu yang tepat untuk dilakukan. Kadang di hari-hari biasa, ada perasaan gengsi atau malu untuk meminta maaf dengan sanak saudara yang jarang komunikasi.
Selamat menyambut ramadan dengan sehat dan gembira. Mohon maaf lahir batin semua.
Referensi: muslim(dot)or(dot)id
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Ramadan Blog Challenge 2023 bersama bloggerperempuan(dot)com
#BPNRamadan2023